Apa Itu Iklim dan Bagaimana Ia Berubah?

Apa Itu Iklim dan Bagaimana Ia Berubah?
Photo by Markus Spiske / Unsplash

Sebelum membahas tentang perubahan iklim atau bahkan krisis iklim, ada baiknya kita pelajari dulu apa itu iklim. Hujan kah? Badai kah? Apa bedanya iklim dengan cuaca?

Kita bicarakan cuaca dulu. Cuaca menggambarkan kondisi yang terjadi sehari-hari, seperti matahari terik, hujan, tutupan awan, angin, hujan es, salju, banjir, badai, hawa dingin/ panas, gelombang panas dan lainnya. Para prakirawan cuaca (atau biasa disebut ahli meteorologi) memakai citra satelit, data-data dan pemodelan komputer untuk memprediksi cuaca hingga beberapa hari kedepan. Prakiraan ini dulu sering kita jumpai di segmen berita TV. Sekarang bisa kita lihat di handphone kita. Dari paparan di atas, garis bawahi kata ‘sehari-hari’.

Sedangkan iklim lebih menggambarkan rata-rata pola cuaca di suatu wilayah pada jangka waktu yang lebih panjang, bisa dalam ukuran puluhan, ribuan bahkan jutaan tahun. Jadi perbedaan mendasar antara cuaca & iklim adalah ukuran waktunya. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) biasanya menggunakan jangka waktu 30 tahun. Karena perbedaan dari skala waktu tersebut, cuaca tidak selalu menggambarkan iklim. Misalnya, saat hari-hari hawa terasa panas, terkadang masih ada beberapa diantara hari itu yang dingin.

Oleh karena itu, perubahan iklim lebih mengacu ke perubahan rata-rata parameter-parameter seperti suhu laut, angin, dan lainnya yang bertahan dalam waktu yang lama. Umumnya dalam beberapa dekade atau lebih. Perubahan iklim ke arah yang buruk atau bahkan menjadi krisis akan menambah sering munculnya cuaca-cuaca buruk. Seperti kekeringan berkepanjangan di satu wilayah, badai di wilayah lainnya, dan banjir di tempat lainnya lagi. Kita bukannya tidak pernah mengalami bencana akibat cuaca buruk semacam itu. Pernah, tapi (masih) jarang. Sehingga masih bisa diatasi dampaknya. Tapi kalau sering, tentu report jadinya.

Mengapa iklim bisa berubah semacam itu? Jawabannya adalah pemanasann global atau global warming. Saya yakin anda sudah pernah mendengarkan konsep ini. Saya ulang sedikit dengan ilustrasi.

Matahari menyinari alam semesta kita. Sebagian sinar (& panasnya) menuju ke bumi. Nasib dari sinar-sinar ini terbagi menjadi beberapa:

  1. Sebagian terpantulkan langsung kembali ke angkasa, baik oleh atmosfer maupun permukaan bumi,
  2. sebagian terjebak di atmoster,
  3. sebagian berhasil menerobos atmosfer dan masuk ke bumi, menjadi sinar matahari yang kita nikmati sehari-hari untuk menjemur baru, menjemur nasi kering, membangkitkan listrik, fotosintesis tanaman dan banyak manfaat lainnya.

Kemudian, dari seluruh sinar matahari yang diterima bumi itu, dipantulkan kembali ke luar oleh permukaan bumi dan atmoster.

Celakanya, saat ini sinar yang harusnya dikeluarkan lagi dari bumi ini tidak bisa terjadi, karena ia tertahan dan terpantulkan kembali ke bumi oleh gas rumah kaca (green house gasses) yang terkumpul di atmosfer. Persis seperti rumah kaca yang dipakai untuk menjaga suhu tanaman yang hidup di bawah naungannya. Bedanya, ini bukan kaca tapi gas. Beberapa biang keroknya adalah karbon dioksida (CO2) yang kita hasilkan atau emisikan dari membakar bahan bakar fosil seperti bensin, batubara, dan avtur, lalu dari kebakaran hutan, serta alih fungsi lahan hutan. Kemudian ada metana (CH4) yang kita hasilkan dari pengeboran gas alam, sampah domestik yang terbuang di tempat pembuangan sampah berbentuk landfill (ditumpuk doang), dan tambang batu bara. Terakhir ada nitrogen oxida (NO2) yang dihasilkkan dari penggunaan pupuk, air limbah dan pup serta pipis hewan ternak.

Supaya lebih jelas, coba lihat gambar ini.

Nah, semakin banyak jumlah gas rumah kaca yang terkumpul di atmosfer kita, efek pantulannya semakin kuat. Sebagai akibatnya, bumi kita memanas. Inilah yang orang sebut sebagai pemanasan global (global warming). Dan itulah yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun terakhir, dimulai sejak revolusi industri.

Pada abad ke 18, tepatnya pada tahun sekitar tahun 1760-an, James Watt menyempurnakan desain mesin uap menjadi lebih efisien & sekaligus menandai dimulainya revolusi industri pertama. Mesin uap pada dasarnya adalah membakar bahan bakar (yang kala itu adalah batu bara) untuk memanaskan air dan mengubahnya menjadi uap panas bertekanan. Uap panas ini akan dialirkan untuk menggerakkan piston atau turbin pada mesin-mesin industri. Penemuan ini mengubah banyak proses produksi di pabrik dengan mesin yang awalnya memakai tenaga manusia. Revolusi juga menjalar ke sektor transportasi dengan dibuatnya kereta uap. Produktifitas meningkat, transportasi makin cepat, industri berkembang pesat.

Saat itu, orang tidak sadar efek dari membakar bahan bakar fosil. Kesadaran baru muncul sekitar tahun 1979 saat ada World Climate Conference. Sayangnya, hingga hari ini emisi karena pembakaran ini terus menerus menumpuk di atmosfer dan membentuk efek rumah kaca. Singkatnya, emisi digaspol, menumpuk gas rumah kaca di atmosfer, menjadikan pemanasan global, berujung mengubah iklim.

Sebagaimana urutan ini menjelaskan bagaimana terjadinya perubahan iklim, ini juga memberi gambaran solusi apa yang bisa dilakukan. Hanya perlu dibalik, yaitu kurangi emisi, gas rumah kaca berkurang, mengurangi global warming, iklim tidak semakin berubah ke arah yang buruk. Masalahnya, pelaksanaannya tidak sesederhana itu. Persoalan jadi sulit karena secara data, negara-negara kaya justru penyumbang emisi terbesar. Mereka bukannya tidak sadar soal ini, tapi aksinya tak secepat yang dibutuhkan. Sementara kita di negara berkembang, masih berkutat dengan banyak PR seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan lainnya yang dinilai perlu lebih diprioritaskan.

Yang perlu kita ingat kembali, mau negara maju, berkembang ataupun miskin, semua menghuni satu bumi yang sama. Kalau celaka, celaka semua. Maka sebaiknya semuanya kompak. Negara maju harusnya membantu negara berkembang secara finalsial dan teknologi untuk mengurangi emisi & memperbanyak energi terbarukan. Komitmen semacam ini sebenarnya sudah ada, tapi lagi-lagi eksekusinya tak secepat yang dibutuhkan. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah memperbanyak orang yang menyadari bahwa ini isu bersama dan penting. Tentu kita tidak ingin kita dan anak-cucu kita bertubi-tubi dihantam bencana alam, kan?

Read more