Bertetangga

Bertetangga
Photo by Nina Strehl / Unsplash

Hari ini saya menghadiri pernikahan sepupu. Akad dan resepsi dilaksanakan pagi tadi di rumah mempelai wanita. Keluarga mengikuti sejak pagi, kemudian menjelang siang tamu-tamu berdatangan setelah masuk waktu resepsi. Sudah lama saya tidak bertemu dengan sepupu saya ini. Memori terkuat saya dengannya adalah dia selalu mengajak saya main PlayStation ketika saya bertamu. (Saya yakin semua bapak-bapak ingat dengan siapa dia main PS sewaktu kecil dulu). Kini, wajahnya sudah jauh lebih dewasa. Sudah wangun dipanggil pak.

Karena anak saya lari kesana-kemari berkeliling perumahan, saya terpaksa mengikutinya. Sehingga tak benar-benar bisa menyimak apa yang sedang berlangsung tadi. Sayup-sayup saya menangkap acara apa yang berjalan. Ijab qobul, dilanjutkan sungkem kepada orang tua, dan sedikit pengajian sebelum akhirnya masuk resepsi.

Saat pengajian tadi, saya sempat mendengar kembali salah satu nasihat bagi pasangan muda. Bahwa ketika sudah menjadi suami istri, dunia bukan lantas milik berdua. Hidup harus dibagi-bagi juga untuk bertetangga. Satu, dua, tiga rumah tetangga ke kanan, ke kiri, depan & belakang. Nasihat ini benar adanya. Sebab bertetangga menentukan kualitas hidup kita. Hubungan yang harmonis dengan sekitar tentu akan menentramkan jiwa. Belum lagi pengaruhnya nanti ke anak-anak. It takes village to raise a child. Kalau warganya saling bermusuhan, mau jadi apa anak kita? Tom & Jerry?

Semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik untuk sekitar kita. Sekedar senyum dan bilang "Mari pak" tentu tidak akan berat untuk jadi garis start. Sisanya, kembalikan ke jangkar pamungkas ini:

Do what you should do. Don't do what you shouldn't do.