Deadline

Deadline
Photo by Tim Gouw / Unsplash

Saya punya hubungan benci tapi rindu dengan deadline atau tenggat waktu. Istilah istri saya, frenemy. Ya kawan, ya lawan.

Saat kuliah dulu saya menangkap sebuah pola bahwa makin dekat dengan deadline, otak jadi makin encer. Ide-ide bermunculan. Kekuatan super yang entah dari mana datangnya mengalir deras mendorong saya menyelesaikan tugas-tugas. Saya rasa Anda juga pernah tahu istilah aneh The Power of Kepepet. Saya sendiri pernah cukup akrab dengan istilah itu. Bahkan saya sempat menyakini, bahwa beginilah memang cara kerja otak manusia. Perlu dipepet dulu baru bertelur.


Hingga akhirnya belakangan saya tahu, bahwa semua itu kurang tepat. Bahkan ada istilah untuk menggambarkannya, namanya Parkinson Law, yaitu work expands to fill the period of time available for its completion. Sederhananya, tugas/ pekerjaan akan molor penyelesaiannya sesuai dengan waktu yang tersedia. Bila ada PR dengan tenggat waktu 1 minggu, maka kecenderungan banyak dari kita baru menyelesaikannya tepat sebelum 1 minggu itu. Padahal sejatinya cuma butuh 2 jam. Njelei memang.

Gejala ini tampak jelas pada aktifitas menulis rutin saya. Karena targetnya 1 hari 1 tulisan, banyak diantaranya, terutama akhir-akhir ini, baru dikerjakan selepas jam 11 malam. Yang penting belum ganti hari, pikir otak kecil saya yang kucluk ini. Padahal membiasakan begini akan merusak kualitas tidur.

Lalu bagaimana solusinya? Salah satu saran untuk menghadapi kecenderungan Parkinson Law adalah dengan menerapkan pseudo deadline atau tenggat waktu semu yang berdurasi setengah dari tenggat aktualnya. Misal ada pekerjaan harus selesai 4 hari, kita pasang target untuk diri sendiri harus selesai dalam 2 hari.

Bila kita bisa menjalankan demikian, manfaatnya banyak. Satu, tidak akan ada stres dikejar-kejar deadline, karena deadline masih jauh tapi kita sudah selesai. Dua, mencegah lembur, yang arti lainnya adalah tidur cukup. Tiga, rasa puas dan bangga pada diri sendiri yang meningkatkan kepercayaan diri.

Mari kita coba.