Haji
Seperti meluruskan garpu pop mie, kadang ada kesempatan yang cuma hadir satu kali. Salah satunya adalah naik haji.
Berhaji menjadi salah satu target utama di hidup banyak umat muslim. Tidak jarang kita dengar kisah heroik orang-orang yang menabung bertahun-tahun demi bisa berhaji. Bahkan, saya baru tahu bahwa zaman 2000-an awal masih banyak ‘haji miskin’. Mereka datang dari berbagai negara dengan bekal seadanya, lalu direwangi berjualan untuk menyambung hidup sesampainya di Mekah.
Covid-19 menunda banyak sekali perjalanan haji. Dampaknya langsung terasa di lama antrian. Awalnya sudah panjang, jadi makin panjang. Di Jogja saja, antrian haji reguler sudah menembus 30 tahun! Itu artinya, kalau mau berhaji di usia 55 saja, harus sudah mendaftar di usia 25 tahun saat ini. Artinya sudah harus lulus kuliah 3 tahun yang lalu, kemudian kerja dengan gaji cukup, serta hidup prihatin untuk menghemat pengeluaran. Begitulah. Yang namanya target utama memang perlu perjuangan luar biasa.
Dengan antrian sepanjang itu, kesempatan berhaji di hidup ini praktis dibatasi satu kali saja. Meski uang berlebih, belum tentu bisa haji lagi. Kasihan saudara-saudara muslim lain yang harus menunggu puluhan tahun. Kesempatan lebih bijak diserahkan pada mereka.
Sekarang, pertanyannya adalah soal kemauan.
Mau kah menabung?
Mau kah menunggu?
Mau kah berhaji?