Jiwa Melayani

Jiwa Melayani
Photo by Waldemar / Unsplash

Hari ini saya naik taksi. Perjalanan dari kantor di Surabaya ke stasiun Gubeng untuk pulang ke Jogja. Seperti biasa, saya pesan taksi lewat telepon. Tidak sampai 5 menit, satu unit taksi sudah siap di depan lobby kantor.

Sejak awal, driver taksi bertutur sangat ramah. Ketika saya ajak ngobrol, beliau cerita kalau hari ini belum dapat penumpang dan sudah berniat mau pulang. Eh, nyantol saya. Rejeki, katanya.

Ada 2 tujuan yang saya perlu mampir sebelum ke stasiun. Yaitu beli oleh-oleh dan ke hotel karena ada barang yang tertinggal.

Saat saya bilang mau mampir beli oleh-oleh, beliau menyarankan toko yang cepat dan mudah aksesnya. Padahal bisa saja saya disarankan ke toko yang ribet supaya lama, supaya argonya melangit. Ketika saya sudah selesai dan kembali menuju taksi, saya lihat beliau sedang membantu penumpang lain bersiap menaiki taksi lainnya.

Dalam hati saya berkata, ini baru yang namanya jiwa melayani. Langsung tulus dari diri sendiri.

Okelah ada SOP dan aturan-aturan dari perusahaan taksi. Misalnya, driver harus selalu tersenyum, tidak ugal-ugalan, membantu membawa barang penumpang dll. Tapi tetap akan berbeda rasanya pada driver yang betul-betul punya jiwa melayani dan yang hanya demi SOP. Tempo hari saya pesan taksi dengan jarak dekat, malah diputer-puter rutenya supaya argonya jalan agak panjang. Padahal saya tahu. Tapi saya diamkan saja.

Barangkali inilah tantangan service industry. Bagaimana merekrut keryawan yang punya jiwa melayani ini? Pasti sulit. Siapa yang bisa tahu isi hati? Apalagi hanya dari interview. Atau memberi pelatihan supaya berjiwa melayani. Walah, pasti lebih sulit lagi.

Saya sendiri juga tidak tahu caranya. Yang saya tahu, orang pasti bisa merasa dan menilai. Mana yang dari hati dan mana yang sak kenane.