Mempersiapkan Kehilangan
Satu pekan, tiga berita duka. Dua diantaranya dapat saya sambangi langsung untuk turut berbela sungkawa. Satu teman SMA dan satu lagi profesor, dosen saya saat S1.
Dalam takziyah ke rumah profesor itu, saya bersama tiga orang teman seangkatan kuliah. Setelah pulang baru saya sadari: ketiganya, yang umurnya mirip-mirip saya, sudah kehilangan ayah mereka masing masing. Dan kini berusaha segenap tenaga untuk menghabiskan waktu berharga dengan ibu yang masih sugeng.
Konon, umur 30-40an seperti saya ini memang krusial-krusialnya. Beberapa sebabnya adalah tanggunan anak sudah mulai ada dan itu butuh biaya serta fokus. Lalu karir sudah agak naik dan tanggung jawab bertambah. Kemudian satu lagi: mulai kehilangan orang-orang terdekat yaitu orang tua.
Yang terakhir ini memang agak nyesek dibicarakan, tapi faktanya demikian dan didukung matematika sederhana. Orangtua kita menikah mungkin di usia 25-30 tahun. Bila kita anak pertama, maka saat kita 30-an tahun, orang tua berusia sekitar 60-an tahun. Rentang usia dimana, menurut salah satu teman saya tadi, memang sering jadi “waktunya”.
Tanpa bermaksud mengharapkan yang tidak-tidak pada orang tua kita (tentu kita ingin bersama mereka selama mungkin kalau bisa), masa itu pasti akan datang. Pertanyaannya: bagaimana kita mempersiapkan diri kehilangan mereka? Berkata ini mungkin tabu, tapi kita bisa bersiap, kan?
Saya nggak tahu. Saya kira setiap orang juga pasti tidak akan pernah siap. Meski didahului sakit lama, we will never be ready. Sekarang saja saya masih sering kangen nenek saya yang waktu meninggalnya didahului sakit hampir 1 tahunan.
Barangkali satu-satunya cara adalah mengabiskan waktu lebih banyak dan berkhidmat lebih dalam pada mereka. Perbanyak doa dan perhatian. Sehingga, kelak ketika waktu itu tiba, kita tidak menyesal.