Mengapa Membaca Fiksi?
Saat saya kecil dulu, bapak saya pernah berkata,"Tidak usah baca novel. Buang waktu dan tidak ada ilmunya." Tanpa terasa ucapan tersebut menancap kuat di benak saya. Saya hampir tidak baca novel atau fiksi selama sekolah. Saya baru baca novel lagi sekitar akhir SMA.
Padahal saat kecil dulu, saya pasti membaca cerpen di majalah Bobo. Meskipun membacanya setelah tidak ada lagi rubrik-rubrik menarik lainnya yang tersisa.
Sekarang, saya justru mendorong diri untuk baca novel atau fiksi lainnya. Terakhir saya menamatkan The Magic Strings of Frankie Presto karya Mitch Albom, penulis kesukaan saya dan istri. Coba anda baca buku-buku karyanya. Apik!
Memang kalau dipikir-pikir, ngapain ya baca fiksi atau bahkan beli buku fiksi mahal-mahal? Mungkin ini yang dulu ada di benak bapak saya.
Tapi saat ini saya menyadari bahwa fiksi menawarkan sesuatu yang menyegarkan. Di dalamnya, ada dunia alternatif dari kehidupan yang kita jalani sehari-hari. Melalui lika-liku ceritanya, saya seperti diajak masuk ke alam lain. Seperi tamasya pikiran, meski tubuh tidak kemana-mana.
Kalau ada yang bilang harga buku fiksi mahal, tidak juga. Coba bandingkan dengan menonton film di bioskop. Film durasi dua jam harganya lima puluh ribu. Buku fiksi yang bagus, mungkin seratus hingga dua ratus ribuan, jarang akan habis dibaca dalam empat jam. Bisa juga disiasati dengan buka toko buku bekas baca. Sehingga secara pengeluaran bisa ditekan dan orang lain bisa beli buku kita dengan harga yang lebih murah.
Yang terakhir, konon membaca fiksi menumbuhkan empati. Kita dituntun untuk menyelami situasi pikiran dan batin para tokohnya. Kita diajak terlibat dalam kecamuk emosi jiwa para tokohnya. Semua ini membuat kita berlatih merasakan dan memahami orang lain, yang mana adalah sari pati dari empati.